Tokoh di balik MP3

Di kalangan mereka yang sedang gandrung MP3, nama
Seitzer dan Gerhauser mungkin tak berdering di kepala.
Tapi harap tahu, merekalah yang mengawali kemungkinan
MP3 menerobos ke mana-mana.

Tak ada yang menyangka sama sekali: tahun lalu 'MP3'
mengambil alih posisi 'sex' sebagai kata yang paling banyak
dicari di Internet. Tak seorang pun (mungkin kecuali bos
'Playboy', Hugh Hefner) yang lebih terkejut dibandingkan
dengan Dieter Seitzer dan Heinz Gerhauser. Dua orang inilah
yang mengawal pengembangan format musik digital MP3 di
Fraunhofer Institute, Erlangen, Jerman.


MP3 memang menakjubkan. Ada banyak format untuk
musik rekaman di Web, tapi MP3-lah sejauh ini yang paling
populer -- dalam waktu yang sangat singkat. Salah satu
perkiraan mutakhir menyebut jumlah musik berformat MP3
yang ditaruh di Internet mencapai setengah juta.

Sebetulnya, kreasi MP3 -- secara teknis disebut MPEG 1
Audio Layer 3 -- adalah produk hasil pikiran banyak orang.
Tapi tim Fraunhofer pimpinan Seitzer dan Gerhauser-lah
yang membuat terobosan paling berarti. Seitzer, 66,
mengomandoi tim itu dari 1985 hingga 1993, sementara
Gerhauser, 54, bertugas sejak 1993.

Kejayaan MP3 menjadikan institute di Erlangen sebagai
yang terbesar dari 47 fasilitas Fraunhofer di Jerman. Bagi
Gerhauser, yang juga profesor di University of Erlangen,
sukses itu sesuatu yang patut disyukuri, tapi ini juga
berarti
ia jadi menghabiskan lebih banyak waktu di ruang-ruang
rapat perusahaan ketimbang di kelas.

''Saya sebetulnya mengenakan dua topi,'' ujarnya. ''Di satu
pihak, saya kepala sebuah institute besar yang harus
mendapatkan hasil 85% dari pengeluarannya lewat kontrak
riset. Jadi, saya ini pengusaha. Di lain pihak, sebagai
profesor sebuah universitas, saya harus mengajar
mahasiswa dan melakukan penelitian di dunia akademi.''

Ketika riset MP3 dimulai di Fraunhofer, di bawah pimpinan
Seitzer, sebuah mesin mainframe membutuhkan 10 jam
hanya untuk memecahkan kode musik digital sepanjang
satu menit. Lalu salah satu mahasiswa Seitzer, Karlheinz
Brandenburg, menulis sebuah tesis mengejutkan. Ia
berpendapat file audio yang dimampatkan bisa dipecah
kodenya secara real time. Para peneliti Fraunhofer lalu
berusaha menyusun algoritma yang mampu membuat musik
yang dipecah kodenya serealistik mungkin bagi telinga
manusia.

Algoritma Layer 3 yang mereka hasilkan memampatkan
musik dengan menyaring suara yang tak tertangkap telinga
manusia. Tanpa flotsam, sebuah berkas suara bisa
dimampatkan sampai 1/10 ukurannya semula.

Namun untuk membuat format itu bersifat universal,
diperlukan sebuah standar internasional. Ini menjadi
mungkin
pada 1988, ketika Moving Pictures Experts Group, MPEG,
dibentuk. Lalu, pada 1995, para peneliti Fraunhofer merilis
Winplay, pemutar musik versi Window yang bisa memecah
kode berkas MP3 di komputer rumahan (PC) secara real
time. Segera setelah kecepatan modem dan mikroprosesor
bertambah besar, MP3 pun punya tempat khusus di
komputer-komputer rumahan.

Format MP3 makin populer ketika peranti lunak seperti
Napster memungkinkan penjelajah Internet mencari dan
saling menukar berkas MP3. Napster, yang belakangan
sedang menjadi sasaran tembak banyak kalangan dari
industri (bisnis) musik, adalah program yang berkemampuan
file sharing.

Dampak buruk? ''Ini piranti bagi orang. Keindahannya adalah
bahwa tak seorang pun yang mengontrolnya, '' kata Bruce
Haring, penulis Beyond the Charts: MP3 and the Digital
Music Revolution. ''Saya kira dampak penuhnya belum
disadari betul.''




sumber : komputer-teknologi@yahoogroups.com

0 comments:

Post a Comment